Jumat, 31 Agustus 2012

REVIEW Perahu Kertas (2012)




Kadang saya pesimistis dengan perfilman Indonesia, industri perfilman di negara kita ini masih sangat kurang dari berbagai aspek, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Thailand,bisa dibilang saya lebih memilih untuk tidak menonton film Indonesia di bioskop. Tapi beberapa tahun belakangan muncul aura-aura positif dari berbagai sineas-sineas dan penggerak perfilman di negeri kita tercinta ini seperti Riri Riza, Garin Nugroho, Joko Anwar, Hanung Bramantyo dan lain-lain. adalah sederetan nama yang bisa meyakinkan saya bahwa dunia perfilman Indonesia sebenarnya masih memiliki harapan untuk berbuat lebih.


Dan Agustus ini seorang Hanung Bramantyo yang Ayat-Ayat cintanya saya acungi jempol, kembali dengan film barunya yaitu Perahu Kertas, sebuah adaptasi novel dari seorang penulis yang cukup fenomenal yaitu Dewi Lestari. Saya tertarik menonton dan ingin tahu sejauh mana perkembangan seorang Hanung, salah satu sutradara yang menurut saya sangat berbakat dan memiliki gaya tersendiri dalam setiap film-filmnya.

Plot film ini dimulai dengan Kugy(Maudy Ayunda) seseorang yang terobsesi dengan Neptunus dewa laut dan memiliki cita-cita menjadi penulis dongeng, ia memiliki dua sahabat bernama Noni (Sylvia Fully R) dan pacar Noni ,Eko(Fauzan Smith). Kugy disini adalah orang yang pintar menulis dan memiliki pola pikir yang sangat imajinatif ,dan dengan radar neptunus yang ia miliki, ia bertemu dengan Keenan (Adipati Dolken). seorang mahasiswa pindahan dari belanda yang ingin jadi pelukis, tapi tidak kesampaian karena orangtuanya lebih suka Keenan kuliah jurusan ekonomi. Semua konflik dan pasang surut hubungan Keenan dan Kugy pun dimulai.

Dari Awal Hanung menyajikan film yang begitu imajinatif dan berbeda, alur yang diceritakan didukung dengan dialog-dialog indah, dan dukungan scoring music yang juga baik, tetapi dari pertengahan filmnya ke belakang, konflik yang disajikan bisa dibilang kurang berbumbu, dialog-dialog indah yang awalnya muncul pun semakin sedikit dan kita lebih banyak disuguhkan plot-plot standar sehingga alur terasa lamban.

Kesimpulannya ada 3 hal yang membuat film ini terasa hidup, Pertama scoring musik yang luar biasa, Kedua Hanung mengarahkan para pemainnya dengan baik, akting Maudy Ayunda dan Adipati Dolken cukup baik untuk mereprentasikan tokoh Kugy dan Keenan. dan yang terakhir adalah Eko, seorang Fauzan Smith entah kenapa bermain begitu natural dan saya sangat terhibur, bahkan perannya bisa menutupi alur yang terasa lamban dan membuat bosan itu.

Pada akhirnya ini bukanlah film buruk yang dibuat oleh Hanung Bramantyo, seperti plot awal film, hubungan Hanung dan Dewi Lestari seperti Keenan dan Kugy, Dewi menulis novel dan Hanung cukup sukses membuat visualisasinya, mungkin alur yang terasa agak lamban bisa ia tebus di film berikutnya. dan setidaknya ia bisa membuat anak muda sekarang tahu lagu Karma Chameleon dari Culture Club.

behindthelines 7/10

1 komentar:

  1. film nya bosan karna belom puncak dari semua konflik yang ada. tunggu part 2 nya aja bulan besoook. pasti seru

    BalasHapus